Anies
Baswedan dikenal sebagai salah satu tokoh penggagas gerakan Indonesia
Mengajar. Gerakan ini dinilai berhasil mengirimkan anak muda berdedikasi
mengajar di sekolah terpencil di sejumlah pelosok Indonesia. Sekarang,
setelah ia dipilih menjadi Mendikbud, akankah Anies dapat mengulang
keberhasilan membangkitkan semangat belajar murid terpencil dengan
menyediakan guru PNS bagi mereka?
Saat ini diperkirakan ada 2,2 juta guru
di seluruh Indonesia, terdiri dari 1,6 juta guru di tingkat SD dan 609
guru di tingkat SMP (P2TK Kemdikbud, 2013). Dari 2,2 juta tersebut, 1,5
juta adalah guru PNS, 180.000 guru tetap yayasan, dan 677.000 guru tidak
tetap alias guru honorer.
Salah satu permasalahan ketersediaan
guru bagi sekolah yang kekurangan guru adalah menumpuknya guru PNS di
perkotaan. Ditaksir terdapat 11 persen guru di SD dan 27 persen SMP
perkotaan perlu diredistribusi ke sekolah pedesaan dan terpencil (Bank
Dunia, 2013). Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama
(Perber) 5 Menteri (Mendikbud, Menag, Mendagri, Menpan RB, dan Menkeu)
tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, yang salah satunya
menjadi acuan untuk pemindahan guru antarsekolah dalam kabupaten/kota
yang sama, antarkabupaten kota, dan antarprovinsi. Namun, setelah perber
ini diberlakukan, distribusi guru tetap tidak merata. Masih banyak
sekolah yang kelebihan dan kekurangan guru PNS. Mengapa?
Kebijakan pemerataan guru
Salah satu faktor utama penyebab
kegagalan kebijakan ini adalah karena desain kebijakan tak memperhatikan
secara saksama dinamika hubungan politik-ekonomi antara pemerintah
pusat dan daerah.
Di satu sisi, pemerintah pusat
berkepentingan terhadap keberhasilan pemerataan dan penataan guru (PPG)
karena akan menekan kebutuhan guru PNS. Jika PPG berhasil, di mana guru
tidak lagi terkonsentrasi pada sekolah tertentu dan distribusi merata di
semua sekolah, hal ini akan mengurangi angka kebutuhan guru nasional.
Penurunan angka kebutuhan guru nasional pada gilirannya akan menekan
alokasi APBN untuk membiayai belanja guru berupa gaji, tunjangan, dan
sebagainya.
Kebutuhan guru PNS saat ini ditaksir
mencapai 600.000 orang. Jika kebutuhan ini dipenuhi melalui rekrutmen
calon PNS, dibutuhkan anggaran paling sedikit Rp 21,6 triliun setiap
tahun. Angka ini juga akan meningkat dua kali lipat jika guru tersebut
diberi tunjangan sertifikasi sehingga total jadi Rp 43,2 triliun.
Pemerintah pusat, terutama Kementerian Keuangan, hampir pasti
berkeberatan atas hal ini karena mempersempit ruang gerak dalam
pengelolaan APBN. Inilah kepentingan pemerintah pusat atas PPG.
Sementara pemerintah daerah justru
memperbanyak kebutuhan guru untuk meningkatkan jumlah pegawai. Jumlah
pegawai yang besar akan memperbesar alokasi dana alokasi umum yang
diterima pemda. Selain itu, memperbesar kebutuhan guru juga meningkatkan
kebutuhan kuota CPNS guru. Sementara rekrutmen CPNS selalu menjadi
ajang korupsi bagi elite politik dan birokrat daerah untuk mendapatkan
keuntungan (ICW, 2013).
Perbedaan kepentingan dalam pemerataan
guru ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Perber 5 Menteri 2011.
Antisipasi tersebut berupa penjatuhan sanksi berupa penundaan transfer
dana perimbangan daerah, penolakan kuota CPNS, dan penilaian buruk atas
kinerja pemda. Namun, sayangnya, sampai akhir masa berlaku perber ini,
tak ada satu pun daerah yang mendapatkan sanksi dari pemerintah pusat.
Tampaknya pemerintah pusat masih ragu menjatuhkan sanksi bagi daerah
yang tidak serius memeratakan guru.
Selain itu, pemerintah pusat kurang
optimal mendorong pemda mengimplementasikan kebijakan pemerataan guru.
Hal ini terbukti dari minimnya program dan anggaran untuk mendukung dan
mendampingi daerah melaksanakan PPG. Kalaupun ada program untuk
mendukung PPG, itu pun sebatas sosialisasi kebijakan ini pada pemerintah
daerah.
Tidak hanya kurangnya program dan
pendampingan bagi daerah, koordinasi dan monitoring implementasi
kebijakan ini juga tak berjalan baik. Berdasarkan hasil penelitian ICW,
ditemukan bahwa pertemuan koordinasi dan supervisi di antara lima
kementerian jarang dilakukan.
Aspek penting lain yang tak diantisipasi
pemerintah dalam kebijakan adalah tidak adanya ruang partisipasi
publik, terutama orangtua murid dan warga di sekitar sekolah. Kebijakan
PPG sangat berorientasi pada bagaimana pemerintah menata birokrasi guru
untuk mengatasi kesenjangan guru antarsekolah. Desain kebijakan tidak
membuka ruang publik yang sebenarnya membutuhkan guru di setiap sekolah
anaknya.
Banyak orangtua murid dan warga yang
sudah menyampaikan keluhan kepada sekolah dan pemerintah daerah bahwa
sekolah anaknya hanya memiliki satu atau dua guru yang mengajar di
beberapa kelas. Sayangnya, keluhan mereka tidak ditanggapi secara serius
oleh sekolah dan pemerintah daerah. Mereka beralasan daerah kekurangan
guru dan rekrutmennya kewenangan pemerintah pusat. Padahal, mereka
memiliki kewenangan memindahkan guru dari sekolah perkotaan yang
kelebihan guru ke sekolah pedesaan dan terpencil yang kekurangan guru.
Partisipasi masyarakat dalam PPG dapat
berupa perhitungan bersama kebutuhan guru di sekolah, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Perhitungan kebutuhan guru dapat
dijadikan dasar melihat kebutuhan pemerataan guru. Perhitungan
kebutuhan guru akan memunculkan gambaran detail sekolah mana saja yang
kelebihan dan kekurangan guru. Masyarakat juga dapat mengawal dan
menekan pemerintah daerah agar melakukan pemindahan guru dari sekolah
kelebihan ke sekolah kekurangan guru.
Misalnya, masyarakat juga dapat mengawal
apakah ada mark up dalam perhitungan kebutuhan guru serta korupsi dan
seleksi CPNS guru. Lebih dari itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi
memberikan fasilitas, kenyamanan, dan dukungan sosial bagi guru yang
mengajar di sekolah terpencil. Dengan partisipasi seperti itu,
masyarakat akan belajar dan memahami tentang kesungguhan dan komitmen
kepala daerah serta birokrasi pendidikan atas kewajiban mereka memenuhi
kebutuhan guru di sekolah-sekolah yang kekurangan guru.
Masalah lain yang juga tak kalah pelik
adalah kesediaan guru PNS dipindahkan ke sekolah terpencil. Banyak guru
tidak bersedia dipindahkan karena tidak ingin berpisah dari keluarga
serta daerah tersebut minim sarana dan prasarana. Mereka ingin agar
anak-anak mereka tumbuh di daerah yang memiliki fasilitas memadai untuk
berkembang dan belajar.
Beberapa pemda memang cukup berhasil
memindahkan guru dari sekolah yang kelebihan guru ke sekolah yang
kekurangan guru. Namun, yang dipindahkan umumnya adalah guru muda yang
belum berkeluarga dan disertai adanya tunjangan daerah bagi guru
tersebut. Sayangnya, hanya sedikit daerah yang melakukan hal ini karena
lemahnya komitmen untuk memeratakan guru.
Penutup
Pada akhirnya pemenuhan guru, terutama
di daerah terpencil, bergantung pada pemerintah pusat. Apakah pemerintah
cukup jeli melihat permasalahan dan merumuskannya dalam kebijakan yang
tepat sehingga dapat mendorong semua pemangku kepentingan pendidikan
melakukan pemerataan guru. Kebijakan di pusat itu ada di tangan
Mendikbud baru.
Apakah dia bisa bekerja sama
antarkementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta masyarakat untuk
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pemerataan guru dengan
baik? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Febri Hendri AA ; Peneliti Divisi MPP ICW
KOMPAS, 21 Februari 2015
KOMPAS, 21 Februari 2015
0 komentar: